Institut Teknologi Bandung (ITB) mendapat sorotan tajam setelah menerapkan kebijakan yang mewajibkan mahasiswa penerima beasiswa Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk bekerja paruh waktu. Kebijakan ini menuai protes dari berbagai kalangan, terutama di media sosial, di mana banyak warganet menolak kebijakan tersebut.
ITB beralasan, langkah ini bertujuan memberikan pengalaman kerja sekaligus kontribusi dari mahasiswa penerima beasiswa bagi pengembangan kampus. Namun, banyak pihak yang melihat kebijakan ini sebagai bentuk lain dari komersialisasi pendidikan, yang menambah beban bagi mahasiswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Daftar Isi
Penolakan dari Aktivis Pendidikan
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, dengan tegas menolak kebijakan tersebut. Menurut Ubaid, kebijakan ini memperjelas arah komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Bahkan, menurutnya, praktik ini bisa diinterpretasikan sebagai perbudakan modern yang memanfaatkan mahasiswa di lingkungan kampus.
Dalam keterangannya, Ubaid memaparkan tiga alasan utama penolakan JPPI terhadap kebijakan ITB ini. Pertama, beasiswa seharusnya dipandang sebagai hak mahasiswa, bukan sebagai bentuk kemurahan hati kampus yang harus “dibalas” dengan kewajiban bekerja. Menurutnya, Pasal 31 dan 34 Undang-Undang Dasar 1945 telah dengan jelas mengamanatkan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan pendidikan, terutama bagi kalangan ekonomi lemah. Sehingga, beasiswa adalah hak konstitusional, bukan kewajiban yang harus diimbangi dengan kerja paruh waktu.
Beban APBN, Bukan Mahasiswa
Alasan kedua, Ubaid menekankan bahwa kampus negeri seperti ITB merupakan bagian dari layanan publik yang dikelola pemerintah. Oleh karena itu, beban pembiayaan operasional kampus seharusnya ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), bukan oleh mahasiswa. Dengan anggaran pendidikan nasional yang sangat besar, yakni Rp665 triliun pada tahun 2024 dan akan meningkat menjadi Rp722 triliun pada 2025, seharusnya pendidikan di perguruan tinggi negeri bisa diberikan secara gratis.
Ubaid juga menyoroti mahalnya biaya kuliah yang menurutnya disebabkan oleh minimnya investasi pemerintah di sektor pendidikan tinggi. “Biaya kuliah yang mahal bukanlah sekadar stigma, tapi kenyataan yang kita hadapi,” tegasnya.
Kritik Terhadap Sistem Kerja Paruh Waktu
Penolakan ketiga terkait dengan bentuk kerja paruh waktu yang dianggap tidak adil jika mahasiswa tidak mendapatkan upah yang sesuai. Ubaid menyebut ini sebagai perbudakan modern yang perlu diwaspadai. Ia juga mengingatkan bahwa protes serupa pernah muncul sebelumnya, terkait dengan program “Kampus Merdeka”, di mana sejumlah mahasiswa diduga dimanfaatkan dalam program magang yang tidak menguntungkan bagi mereka.
“Mahasiswa seharusnya fokus belajar, bukan bekerja. Pemberian beasiswa itu sendiri merupakan kewajiban pemerintah dan kampus, bukan sesuatu yang harus ditukar dengan kerja paruh waktu,” lanjut Ubaid.
Penjelasan ITB: Peluang Kontribusi dan Pengalaman
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB, Naomi Haswanto, menanggapi kritik ini dengan menyatakan bahwa kebijakan tersebut bertujuan memberi mahasiswa penerima beasiswa kesempatan untuk berkontribusi terhadap pengembangan kampus, sembari mendapatkan pengalaman kerja yang berharga. Menurutnya, sistem kerja paruh waktu ini akan disusun secara fleksibel, disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan mahasiswa serta jadwal akademik mereka.
Mahasiswa yang diwajibkan bekerja dapat ditempatkan sebagai asisten dosen atau di unit kegiatan mahasiswa (UKM), tergantung pada kualifikasi mereka. Naomi juga menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan meringankan beban kampus sekaligus memberikan pengalaman kerja bagi mahasiswa, sehingga diharapkan dapat menjadi bekal mereka di dunia kerja setelah lulus.
Kesimpulan: Komersialisasi atau Peluang?
Kebijakan ITB yang mewajibkan kerja paruh waktu bagi mahasiswa penerima beasiswa UKT memang menuai kontroversi. Di satu sisi, ITB melihat ini sebagai langkah untuk memberikan kontribusi positif dan pengalaman kerja bagi mahasiswa. Namun, di sisi lain, kebijakan ini dinilai banyak pihak sebagai bentuk komersialisasi dan eksploitasi yang membebani mahasiswa.
Pertanyaan besar yang muncul adalah, apakah kebijakan ini benar-benar menguntungkan mahasiswa, atau justru menjadi beban tambahan yang memperlihatkan semakin menguatnya komersialisasi di sektor pendidikan tinggi?