Apa yang membuat jurnal internasional bereputasi begitu penting untuk dosen? Salah satu syarat utama bagi dosen yang ingin naik jabatan akademik adalah publikasi di jurnal internasional bereputasi. Namun, ada dua tafsir berbeda mengenai apa yang dimaksud dengan “bereputasi”. Artikel ini akan mengulas kedua versi tersebut dan implikasinya bagi dosen.
Daftar Isi
Apa itu Jurnal Internasional Bereputasi?
PO-PAK 2014 dan 2019
Menurut Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit (PO-PAK) 2014 dan 2019, jurnal internasional bereputasi adalah jurnal yang:
- Terindeks pada database internasional bereputasi seperti Web of Science (WoS) dan/atau Scopus.
- Memiliki faktor dampak (impact factor) tertentu yang diakui Ditjen Dikti.
- Terdaftar di SINTA (Science and Technology Index).
Jika jurnal tidak memenuhi ketiga syarat tersebut, maka meskipun terindeks pada database internasional bereputasi, tetap tidak diakui sebagai jurnal internasional bereputasi oleh Ditjen Dikti.
IKU-PTN
Buku Panduan Indikator Kinerja Utama Perguruan Tinggi Negeri (IKU-PTN) memberikan tafsir berbeda. Jurnal internasional bereputasi di sini adalah jurnal yang:
- Terindeks global atau pada database jurnal ilmiah bereputasi tinggi.
- Terdaftar di SINTA.
Versi ini tidak memasukkan parameter faktor dampak dan menambahkan beberapa database seperti DOAJ, CABI, Copernicus, dan EBSCO sebagai pengindeks bereputasi.
Mengapa Ada Dua Versi Tafsir?
Perbedaan ini muncul karena kedua dokumen tersebut dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, namun untuk tujuan yang berbeda. PO-PAK digunakan untuk kenaikan jabatan dosen, sementara IKU-PTN digunakan untuk menilai kinerja perguruan tinggi.
Dampak Bagi Dosen
Perbedaan tafsir ini berdampak langsung pada dosen yang ingin naik jabatan. Dosen harus memperhatikan pedoman yang relevan dengan tujuan mereka. Misalnya, jika ingin naik jabatan, mereka harus memastikan publikasi mereka sesuai dengan syarat PO-PAK.
Kontroversi dan Polemik
Perbedaan ini telah menimbulkan kontroversi di kalangan akademisi. Mantan Dirjen SDM Kemristekdikti, Ali Gufron Mukti, menyatakan bahwa jurnal bereputasi tidak harus terindeks Scopus, tetapi bisa juga terindeks database lainnya seperti Copernicus. Namun, Kemdikbudristek tetap menjadikan jurnal terindeks Scopus sebagai acuan utama untuk kenaikan jabatan.
Kasus di Mahkamah Konstitusi
Perbedaan tafsir ini bahkan sampai ke Mahkamah Konstitusi. Dalam kasus kenaikan jabatan fungsional seorang dosen FMIPA UI, MK mendukung tafsir PO-PAK, namun merekomendasikan proses review yang lebih terintegrasi antara TIM PAK PT dengan Kementerian.
Masa Depan Tafsir Jurnal Internasional Bereputasi
Terbitnya parameter “bereputasi” dalam IKU-PTN yang berbeda dengan PO-PAK diprediksi akan terus memicu polemik. Ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab:
- Apakah parameter “bereputasi” harus berbeda sesuai peruntukannya?
- Apakah perbedaan ini hanya kekhilafan dalam merumuskan penjelasan “bereputasi”?
- Ataukah memang ada revisi tafsir terkait makna “bereputasi”?
Kesimpulan
Dosen dan perguruan tinggi perlu memahami kedua tafsir ini dengan baik. Klarifikasi dari Ditjen Dikti Kemdikbudristek sangat diperlukan untuk menghindari kebingungan. Yang pasti, satu istilah tidak seharusnya memiliki dua tafsir yang berbeda, meskipun objek dan peruntukannya berbeda.
FAQ:
Apa syarat jurnal internasional bereputasi menurut PO-PAK?
Jurnal harus terindeks di WoS atau Scopus, memiliki impact factor tertentu, dan terdaftar di SINTA.
Apa perbedaan tafsir jurnal bereputasi antara PO-PAK dan IKU-PTN?
PO-PAK menekankan pada faktor dampak dan indeks tertentu, sementara IKU-PTN menambahkan database lain tanpa memerlukan faktor dampak.
Mengapa perbedaan ini penting?
Karena mempengaruhi proses kenaikan jabatan dosen dan penilaian kinerja perguruan tinggi.
Bagaimana tanggapan Mahkamah Konstitusi terkait perbedaan ini?
MK mendukung tafsir PO-PAK dan merekomendasikan proses review yang lebih terintegrasi.
Apakah jurnal harus terindeks Scopus untuk dianggap bereputasi?
Tidak harus, bisa terindeks di database lain seperti Copernicus, selama diakui bereputasi.
Apa langkah selanjutnya yang perlu diambil Ditjen Dikti?
Perlu ada penjelasan dan klarifikasi mengenai perbedaan tafsir ini untuk menghindari kebingungan di kalangan dosen dan perguruan tinggi.