Rencana pemerintah untuk memberikan izin konsesi tambang kepada perguruan tinggi menuai kritik dari berbagai kalangan. Kebijakan ini dianggap kontroversial karena dinilai bertentangan dengan prinsip pendidikan tinggi yang tertuang dalam Tridharma Perguruan Tinggi. Selain itu, kebijakan ini juga dikhawatirkan dapat mengancam independensi akademik dan menciptakan konflik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Daftar Isi
Kritik dari Akademisi dan Pakar Pendidikan
Filsuf dan pengajar pada Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Karlina Supelli, menilai bahwa pelemahan demokrasi saat ini berlangsung secara halus, termasuk melalui kebijakan seperti pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi. Menurutnya, kebijakan ini merupakan bentuk kooptasi pemerintah terhadap institusi pendidikan tinggi, yang seharusnya berperan dalam penelitian dan pengabdian masyarakat, bukan dalam pengelolaan sumber daya alam.
“Dalam Tridharma Perguruan Tinggi jelas bahwa pengelolaan usaha semacam ini tidak masuk dalam cakupan utama. Kampus seharusnya menjadi tempat untuk berpikir kritis dan mengembangkan ilmu, bukan terlibat dalam bisnis pertambangan,” ujar Karlina dalam acara Menyikapi 100 Hari Presiden yang digelar oleh Gerakan Nurani Bangsa di Jakarta pada Selasa (28/1).
Karlina juga menyoroti bahwa kebijakan ini dapat memperburuk masalah independensi akademik, terutama bagi perguruan tinggi negeri. Pasalnya, penunjukan rektor di perguruan tinggi negeri memiliki porsi 30% suara yang berada di tangan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, yang merupakan bagian dari pemerintah. Dengan demikian, ada potensi intervensi politik dalam pengambilan keputusan akademik.
Potensi Konflik Kepentingan dan Dampak Lingkungan
Selain kekhawatiran terhadap independensi akademik, para pengamat lingkungan juga menyoroti risiko dari keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis pertambangan. Sektor pertambangan dikenal memiliki dampak lingkungan yang besar, mulai dari deforestasi, pencemaran air dan udara, hingga konflik sosial dengan masyarakat setempat. Dengan adanya izin bagi perguruan tinggi untuk mengelola tambang, dikhawatirkan akan terjadi konflik kepentingan antara kepentingan akademik dan kepentingan ekonomi.
Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Zenzi Suhadi, kebijakan ini bisa menjadi ancaman bagi lingkungan dan masyarakat sekitar wilayah tambang. “Perguruan tinggi memiliki peran utama dalam pengembangan ilmu dan riset. Jika mereka diberikan izin tambang, ada risiko bahwa penelitian yang dilakukan lebih berorientasi pada keuntungan ekonomi dibandingkan dengan kepentingan ekologis dan keberlanjutan,” tegasnya.
Selain itu, keterlibatan perguruan tinggi dalam pertambangan juga dapat mengaburkan batas antara riset independen dan kepentingan bisnis. Para akademisi yang biasanya melakukan penelitian terkait dampak lingkungan pertambangan mungkin menghadapi tekanan untuk menghasilkan laporan yang lebih menguntungkan bagi industri, bukan bagi kepentingan publik.
Pandangan dari Mantan Menteri dan DPR
Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin juga mengingatkan pemerintah agar kembali melihat konstitusi, terutama Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang mengamanatkan bahwa sumber daya alam harus dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Negara memiliki kewajiban untuk mengelola sumber daya alam demi kepentingan masyarakat. Jika perguruan tinggi diberikan izin untuk mengelola tambang, hal ini bisa mengarah pada praktik privatisasi sumber daya alam yang justru bertentangan dengan semangat konstitusi,” ujar Lukman.
Senada dengan Lukman, anggota Komisi VII DPR RI yang membidangi energi dan sumber daya mineral menyatakan bahwa kebijakan ini harus dikaji ulang secara mendalam. DPR berencana untuk mengundang perwakilan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Pendidikan, serta akademisi untuk mendengar pandangan mereka terkait potensi risiko dan manfaat dari kebijakan ini.
“Kami akan menelaah lebih lanjut apakah kebijakan ini benar-benar membawa manfaat bagi dunia pendidikan atau justru berisiko menciptakan masalah baru,” kata salah satu anggota DPR yang enggan disebut namanya.
Dukungan dari Beberapa Pihak
Meskipun menuai banyak kritik, ada pula pihak yang mendukung rencana ini dengan alasan bahwa perguruan tinggi dapat memanfaatkan tambang sebagai laboratorium penelitian. Beberapa akademisi berpendapat bahwa jika dikelola dengan baik, izin tambang dapat membuka peluang bagi mahasiswa dan dosen untuk melakukan riset langsung di lapangan terkait teknologi pertambangan berkelanjutan.
Rektor salah satu perguruan tinggi teknik di Indonesia menyatakan bahwa kebijakan ini berpotensi memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang teknik pertambangan, geologi, dan lingkungan.
“Jika ada regulasi yang ketat dan transparan, perguruan tinggi bisa memanfaatkan sumber daya ini untuk meningkatkan kualitas riset dan pembelajaran. Namun, tentu harus ada batasan yang jelas agar tidak terjadi konflik kepentingan,” ujarnya.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Rencana pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan. Di satu sisi, kebijakan ini dinilai bertentangan dengan prinsip pendidikan tinggi dan berisiko mengancam independensi akademik. Di sisi lain, ada potensi manfaat jika izin ini benar-benar digunakan untuk kepentingan penelitian dan pembelajaran.
Namun, sebelum kebijakan ini diterapkan, pemerintah perlu melakukan kajian mendalam dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, organisasi lingkungan, dan masyarakat sipil. Regulasi yang ketat dan transparan harus diterapkan untuk memastikan bahwa keterlibatan perguruan tinggi dalam pertambangan tidak bertentangan dengan prinsip keberlanjutan dan kepentingan publik.