Fenomena publikasi di jurnal ‘predator’ terus menjadi sorotan dalam dunia akademis Indonesia. Sejumlah skandal yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir telah mengungkap betapa banyaknya akademisi, termasuk guru besar, yang menerbitkan artikel ilmiah mereka di jurnal yang tidak memiliki kredibilitas.
Berdasarkan temuan terbaru, delapan dari sepuluh guru besar di Indonesia terindikasi menerbitkan artikel mereka di jurnal ‘predator’. Skandal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai kualitas penelitian dan integritas akademis di perguruan tinggi Indonesia.
Daftar Isi
Apa Itu Jurnal ‘Predator’?
Jurnal ‘predator’ adalah jurnal akademik yang berorientasi pada keuntungan finansial dan tidak menerapkan standar peer review yang ketat. Akibatnya, artikel yang diterbitkan di dalamnya sering kali tidak memiliki kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Meskipun memiliki tampilan yang profesional, jurnal ini sering kali menerima artikel tanpa proses penyaringan yang layak, selama penulis bersedia membayar biaya publikasi yang tinggi.
Sejak 2015, diperkirakan sekitar 23% akademisi di Indonesia telah menerbitkan tulisan ilmiah mereka di jurnal yang terindikasi sebagai jurnal ‘predator’. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ini bukan sekadar kasus individu, tetapi sudah menjadi fenomena yang luas dan sistemik dalam dunia akademik Indonesia.
Data dan Temuan Riset
Untuk memahami skala dari fenomena ini, survei dilakukan terhadap 18 dari 198 perguruan tinggi di Indonesia, mencakup Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Kementerian/Lembaga (PTKL), dan Perguruan Tinggi Agama (PTAN). Dari survei ini, diperoleh sampel sebanyak 158 guru besar dengan total 4.742 artikel jurnal yang telah diterbitkan di indeks Scopus.
Hasil survei ini menunjukkan bahwa sebanyak 1.363 artikel atau hampir 30% dari sampel telah dipublikasikan di jurnal-jurnal yang dikategorikan sebagai jurnal ‘predator’. Fakta ini semakin memperkuat dugaan bahwa publikasi di jurnal predator bukan hanya terjadi secara sporadis, melainkan sudah menjadi bagian dari pola publikasi akademis di Indonesia.
1. Demografi Pengguna Jurnal ‘Predator’
Berdasarkan survei yang dilakukan, ditemukan bahwa 83,87% guru besar di Indonesia pernah, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, menerbitkan artikelnya di jurnal yang berpotensi atau sah dikategorikan sebagai jurnal ‘predator’.
Seorang guru besar dikategorikan melakukan publikasi secara sengaja jika lebih dari 50% artikel yang diterbitkan berada di jurnal predator dan jika ia menjadi penulis utama atau tunggal.
Riset ini juga menemukan bahwa dari 31 guru besar yang dikukuhkan pada tahun 2023, 26 di antaranya terindikasi pernah menerbitkan artikel di jurnal ‘predator’. Sebanyak 13 dari mereka menerbitkan 10-19 artikel, sementara 6 di antaranya bahkan menerbitkan lebih dari 20 artikel di jurnal predator.
Secara geografis, konsentrasi guru besar yang terlibat dalam publikasi di jurnal ‘predator’ tertinggi berada di Jawa Barat, Jakarta, dan Banten, dengan total 44 dari 56 guru besar terindikasi melakukan publikasi di jurnal predator. Sembilan di antaranya menerbitkan lebih dari 20 artikel di jurnal tersebut.
Selain itu, wilayah Sulawesi dan Jawa Timur juga memiliki jumlah guru besar yang menerbitkan artikel di jurnal predator dalam jumlah yang cukup tinggi, masing-masing dengan 25 dari 32 guru besar dan 25 dari 28 guru besar.
Dari segi bidang keilmuan, guru besar yang paling banyak menerbitkan artikel di jurnal ‘predator’ berasal dari bidang Sosial Humaniora (35 dari 48 guru besar), Teknik (25 dari 26 guru besar), dan Agro (23 dari 26 guru besar).
Baca Juga: Daftar Jurnal Internasional Terindeks Scopus: Panduan Lengkap untuk Peneliti dan Akademisi
2. Berdasarkan Jumlah Artikel
Publikasi di jurnal predator terbanyak ditemukan di beberapa kampus yang berada di Jawa Barat, Banten, dan Jakarta, dengan total 438 dari 1.363 artikel yang diterbitkan di jurnal predator.
Wilayah lain seperti Jawa Timur, Sulawesi, dan Jawa Tengah juga menunjukkan angka publikasi yang cukup tinggi, masing-masing dengan 288, 279, dan 271 artikel.
Jika dilihat dari bidang keilmuan, bidang Sosial Humaniora menyumbang 326 artikel, Teknik 296 artikel, dan Agro 285 artikel.
Dari segi tahun pengukuhan, 229 artikel berasal dari guru besar yang dikukuhkan pada tahun 2023.
Dari sisi gender, 1.091 artikel atau sekitar 80% dari total artikel yang dipublikasikan di jurnal predator ditulis oleh guru besar laki-laki.
Tantangan dalam Pengangkatan Guru Besar di Era Jurnal ‘Predator’
Proses pengangkatan guru besar di Indonesia diprediksi akan mengalami perubahan besar dalam beberapa tahun ke depan. Pada tahun 2025, perguruan tinggi akan memiliki otonomi dalam mengangkat guru besar secara mandiri. Hal ini memunculkan tantangan baru dalam memastikan bahwa proses tersebut tetap transparan dan kredibel.
Untuk mencegah penyalahgunaan sistem ini, Kementerian Pendidikan Tinggi dan Sains Teknologi (Kemendiktisaintek) perlu memastikan bahwa kebijakan desentralisasi ini tidak semakin memperburuk fenomena publikasi di jurnal predator.
Selain itu, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengatasi fenomena jurnal predator di kalangan akademisi Indonesia:
- Memperketat Evaluasi Karya Ilmiah
- Proses verifikasi jurnal harus dilakukan secara lebih ketat dengan melibatkan komite independen.
- Penerbitan artikel harus berdasarkan kontribusi ilmiah yang terukur, bukan sekadar jumlah publikasi.
- Mendorong Transparansi dalam Proses Kenaikan Jabatan
- Perguruan tinggi harus memastikan bahwa kenaikan jabatan guru besar berbasis meritokrasi, bukan hanya pemenuhan administrasi.
- Perlu adanya ujian kepakaran dan kontribusi akademik yang lebih mendalam dalam proses pengangkatan guru besar.
- Meningkatkan Kesadaran Akademisi tentang Jurnal Predator
- Dosen dan peneliti perlu diberikan edukasi tentang bahaya publikasi di jurnal predator.
- Pemerintah dapat menyediakan daftar jurnal terpercaya yang dapat menjadi rujukan bagi akademisi.
Kesimpulan
Skandal publikasi di jurnal ‘predator’ mencerminkan adanya tekanan besar dalam dunia akademik Indonesia untuk memenuhi syarat kenaikan jabatan. Jika tidak ditangani dengan baik, fenomena ini dapat merusak reputasi akademisi Indonesia di mata dunia internasional.
Maka dari itu, transparansi, meritokrasi, dan sistem evaluasi yang lebih ketat harus segera diterapkan agar integritas akademis tetap terjaga. Dengan demikian, di masa depan, guru besar di Indonesia tidak hanya sekadar meraih gelar akademis tertinggi, tetapi juga menjadi teladan bagi dunia pendidikan yang lebih berkualitas dan bermartabat.