Dunia akademik di Indonesia kembali menjadi sorotan bukan karena prestasi melainkan karena kontroversi yang menyeret nama Kumba Digdowiseiso, seorang dekan dari Universitas Nasional. Polemik ini memicu diskusi luas tentang integritas akademik di Indonesia, yang disebut sebagai fenomena “Hamba Scopus.”
Daftar Isi
Kumba Digdowiseiso: Dekan yang Berada di Pusat Kontroversi
Menurut laporan dari Retraction Watch, Kumba Digdowiseiso diduga kuat telah mencatut nama dosen dari Universiti Malaysia Terengganu dalam serangkaian publikasi ilmiah. Kejadian ini menambah daftar panjang kasus integritas akademik yang tercoreng. Pernyataan yang dikeluarkan oleh Safwan Mohd Nor dari universitas tersebut menegaskan bahwa ia tidak mengenal sosok Kumba Digdowiseiso.
“Hamba Scopus”: Kultur Pengejaran Status di Dunia Akademik
Kumba telah menulis 679 makalah sepanjang tahun 2023, angka yang mengejutkan dan memicu spekulasi mengenai validitas dari makalah-makalah tersebut. Banyak dari publikasi ini muncul di Journal of Social Science, yang diduga kuat sebagai jurnal predator. Situasi ini membuka mata banyak pihak tentang bagaimana sistem penilaian akademik di Indonesia yang cenderung mendorong praktik tidak sehat demi status dan pengakuan akademik.
Krisis Etika Ilmiah di Indonesia
Bambang Purwanto, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, menyoroti “krisis etika ilmiah” yang sedang terjadi dalam dunia akademik Indonesia. Krisis ini tidak hanya merusak integritas ilmiah tapi juga berpotensi menumbuhkan perilaku koruptif di kalangan akademisi.
Scopus dan QS: Akar Masalah?
Diskusi mengenai penghambaan terhadap Scopus tidak lepas dari peran serta pemerintah yang mengadopsi metode Quacquarelli Symonds (QS) dalam penilaian akademik. Sistem ini menekankan jumlah sitiran dan telaah sejawat sebagai indikator utama, namun hal ini sering kali mendorong perilaku yang bertentangan dengan etika penelitian.
Dampak pada Pengembangan Sains dan Inovasi
Ketergantungan pada bibliometrik, seperti yang diadopsi dalam Science and Technology Indeks (SINTA), ironisnya, tidak mendorong perkembangan ilmiah tapi malah menghambatnya. Pemerintah Indonesia masih mempertahankan metode ini meskipun telah ada seruan global untuk mengubah pendekatan evaluasi kinerja akademisi.
Kesimpulan: Menggugat Budaya “Publish or Perish”
Kasus Kumba Digdowiseiso hanyalah puncak gunung es dalam masalah yang lebih besar di dunia akademik Indonesia, dimana akademisi menjadi budak dari sistem publikasi yang tidak sehat. Perubahan mendesak diperlukan untuk mengembalikan fokus pada penelitian yang bermakna untuk ilmu pengetahuan dan masyarakat, bukan hanya untuk pencapaian status atau keuntungan pribadi.