Potret Pendidikan Indonesia

Potret Pendidikan Indonesia: Disparitas, Minimnya Lulusan Perguruan Tinggi, dan Rendahnya Kemampuan Dasar Literasi

Cerminan Masalah Pendidikan Indonesia

Pendidikan adalah fondasi utama dalam pembangunan bangsa. Kualitas dan pemerataan pendidikan menjadi kunci untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, mandiri, dan berdaya saing tinggi. Namun, potret pendidikan Indonesia masih menyimpan banyak tantangan serius. Mulai dari rendahnya jumlah lulusan pendidikan tinggi, kesenjangan antarwilayah, hingga masih banyaknya masyarakat yang belum bisa membaca dan menulis secara layak.

Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal 2025 menunjukkan bahwa kesenjangan pendidikan masih sangat mencolok, terutama antara wilayah barat dan timur Indonesia. Dalam laporan itu, banyak fakta mengejutkan tentang rendahnya capaian pendidikan masyarakat Indonesia yang patut menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan.

1. Rendahnya Lulusan Pendidikan Tinggi: Tantangan Menuju Indonesia Emas 2045

Salah satu indikator utama dalam mengukur keberhasilan sistem pendidikan nasional adalah jumlah lulusan pendidikan tinggi. Sayangnya, berdasarkan data BPS 2024, hanya sekitar 10,2 persen dari penduduk Indonesia yang berusia di atas 15 tahun yang menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi. Ini artinya, mayoritas masyarakat Indonesia belum mengenyam pendidikan tinggi, bahkan sebagian besar hanya lulus dari tingkat pendidikan dasar dan menengah.

Mayoritas penduduk Indonesia, sekitar 30,85 persen, hanya memiliki ijazah SMA atau sederajat. Sementara itu, 24,72 persen hanya menyelesaikan pendidikan hingga SD, dan 22,79 persen berhenti di SMP. Artinya, jumlah penduduk yang lulus pendidikan dasar (SD dan SMP) jauh lebih banyak dibandingkan mereka yang berhasil menyelesaikan SMA atau perguruan tinggi.

2. Ketimpangan Pendidikan Antarprovinsi

Masalah tidak hanya berhenti di tingkat nasional. Jika ditelisik lebih dalam, ketimpangan pendidikan antarwilayah sangat terasa. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan rata-rata lama sekolah tertinggi, yaitu 11,5 tahun. Angka ini mencerminkan bahwa masyarakat Jakarta umumnya mengenyam pendidikan hingga tingkat SMA, meski belum semuanya lulus.

Sebaliknya, Provinsi Papua Pegunungan menjadi wilayah dengan capaian pendidikan terendah. Rata-rata lama sekolah di wilayah ini hanya 5,1 tahun, bahkan belum menyelesaikan pendidikan dasar. Fakta ini menunjukkan adanya kesenjangan besar dalam pemerataan pendidikan di Indonesia.

3. Realita di Papua: Minim Infrastruktur, Tingginya Ketidakhadiran Guru

Papua menjadi cermin nyata dari kompleksitas masalah pendidikan di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Dalam rapat dengar pendapat di Komisi X DPR RI, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memaparkan berbagai kendala yang dihadapi pendidikan di Papua Barat dan Papua Barat Daya.

Salah satu persoalan terbesar adalah tingginya tingkat ketidakhadiran guru, yang mencapai 37-43 persen. Ini artinya, dari 10 guru, hanya sekitar 6 yang hadir secara reguler di sekolah. Penyebabnya bervariasi, mulai dari sulitnya akses transportasi, keterbatasan fasilitas, hingga rendahnya insentif bagi tenaga pendidik yang bertugas di daerah terpencil.

Lebih dari itu, kurikulum nasional yang diimplementasikan secara seragam belum tentu relevan dengan konteks lokal masyarakat Papua. Aspek budaya, kondisi geografis, dan kebutuhan sosial masyarakat lokal belum sepenuhnya diakomodasi dalam sistem pendidikan saat ini.

Baca Juga: Mendiktisaintek Dorong Dosen untuk Tingkatkan Riset dan Inovasi Demi Kemajuan Indonesia

4. Krisis Literasi: Siswa Sulit Membaca dan Menulis

Rendahnya mutu pendidikan di Papua tak hanya terlihat dari tingkat kelulusan, tapi juga dari kemampuan dasar seperti membaca dan menulis. Di Kabupaten Sorong Selatan, BRIN menemukan fakta bahwa siswa kelas 2 SD hanya mampu mengenal huruf, mengeja kata sederhana, dan belum bisa membaca kalimat utuh. Bahkan siswa kelas 4 hingga 6 SD pun masih mengalami kesulitan yang sama.

Yang lebih memprihatinkan, kemampuan dasar ini juga belum dikuasai oleh sebagian siswa tingkat SMP dan SMA. Banyak dari mereka yang bisa membaca, tapi tidak memahami isi bacaan. Ini menunjukkan adanya krisis literasi yang sangat serius dan mengancam masa depan generasi muda di wilayah tersebut.

5. Peran Infrastruktur dan Sumber Daya dalam Mutu Pendidikan

Salah satu akar masalah dari berbagai tantangan pendidikan di Papua adalah minimnya infrastruktur. Sekolah, perpustakaan, buku pelajaran, dan fasilitas belajar lainnya sangat terbatas. Bahkan, akses ke sekolah saja membutuhkan perjuangan besar, karena sebagian anak harus berjalan kaki sejauh lebih dari 10 kilometer melewati medan yang berat.

Di sisi lain, pemerintah daerah memiliki keterbatasan kapasitas dalam merancang dan mengimplementasikan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Meskipun telah diberikan otonomi khusus, belum semua daerah mampu memanfaatkannya secara optimal.

6. Penurunan Anggaran Pendidikan: Ancaman bagi Program Pemerataan

Masalah semakin kompleks ketika anggaran pendidikan mengalami penurunan drastis. Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Kemendikbudristek, Vivi Andriani, mengungkapkan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik tahun 2025 hanya tersisa Rp 2,2 triliun, turun tajam dari Rp 15,3 triliun pada tahun sebelumnya.

Padahal, DAK fisik ini dirancang untuk membangun infrastruktur pendidikan di daerah-daerah tertinggal, termasuk untuk mempercepat program wajib belajar 13 tahun. Dengan berkurangnya anggaran, target pembangunan sekolah dan pengadaan fasilitas belajar bisa terhambat.

Selain itu, rencana untuk meningkatkan kualitas pendidikan vokasi juga terancam gagal. Padahal, pendidikan vokasi merupakan jalan tengah yang efektif untuk meningkatkan keterampilan kerja generasi muda yang tidak mampu mengakses pendidikan tinggi.

7. Harapan Baru: Pemanfaatan Teknologi dan Desentralisasi Kebijakan

Meski tantangan besar membayangi, masih ada harapan untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional. Salah satunya melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Pembelajaran jarak jauh, platform belajar digital, dan program literasi berbasis komunitas dapat menjadi solusi alternatif untuk menjangkau daerah-daerah terpencil.

Desentralisasi kebijakan pendidikan juga perlu diperkuat. Pemerintah daerah harus diberikan kewenangan lebih luas untuk merancang kurikulum lokal, merekrut dan melatih guru secara mandiri, serta mengelola anggaran pendidikan sesuai kebutuhan wilayah masing-masing.

8. Rekomendasi Strategis untuk Pemerintah

Berikut beberapa langkah strategis yang bisa diambil oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan:

  1. Revitalisasi Infrastruktur Pendidikan
    • Fokus pembangunan sekolah di wilayah 3T.
    • Penyediaan buku, media pembelajaran digital, dan jaringan internet.
  2. Peningkatan Kualitas Guru
    • Insentif bagi guru di daerah terpencil.
    • Pelatihan berkala dan pengembangan kompetensi.
  3. Perluasan Akses Pendidikan Tinggi
    • Beasiswa khusus untuk siswa berprestasi dari daerah 3T.
    • Program vokasi berbasis industri lokal.
  4. Penguatan Literasi Dasar
    • Program nasional peningkatan kemampuan baca tulis.
    • Pelibatan komunitas, orang tua, dan organisasi lokal.
  5. Perbaikan Tata Kelola dan Anggaran
    • Transparansi penggunaan DAK fisik.
    • Pengawasan lintas sektor atas realisasi anggaran pendidikan.

Saatnya Bergerak Bersama

Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta harus bergandengan tangan untuk menciptakan sistem pendidikan yang inklusif, adaptif, dan berkualitas. Masalah pendidikan bukan sekadar soal anggaran, tapi juga soal niat, strategi, dan kolaborasi jangka panjang.

Melalui refleksi atas data dan realita di lapangan, kini saatnya Indonesia berbenah. Bukan hanya untuk mengejar ketertinggalan, tapi untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi seluruh anak bangsa.

Baca Juga: Anggaran Riset Dipangkas: Penelitian Harus Lebih Strategis dan Berdampak

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top