Daftar Isi
- 1 Fenomena Gengsi Akademik di Era Indeksasi
- 2 Indeksasi Jurnal: Apa yang Sebenarnya Diukur?
- 3 Studi Kasus: Jurnal Nature dan Retraksi Penelitian
- 4 Dampak Miskonsepsi: Dari Dosen hingga Institusi
- 5 Indeksasi Tidak Sama dengan Kualitas Riset
- 6 Ketimpangan Global: Negara Berkembang dan Standar Barat
- 7 Menuju Evaluasi Penelitian yang Lebih Holistik
- 8 Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah dan Kampus?
- 9 Indeksasi Sebagai Alat, Bukan Tujuan
Fenomena Gengsi Akademik di Era Indeksasi
Dalam ekosistem akademik global, terutama di Indonesia, muncul fenomena yang kian dominan: mengejar indeksasi jurnal sebagai simbol gengsi dan keberhasilan akademik. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan riset seperti perguruan tinggi negeri, politeknik, hingga pusat riset pemerintah menjadikan indeksasi di Scopus, Web of Science (WoS), atau lembaga bibliometrik lainnya sebagai indikator utama dalam menilai kinerja dosen dan peneliti.
Namun, pertanyaannya: apakah indeksasi benar-benar mencerminkan kualitas penelitian?
Artikel ini akan mengurai mitos, membedah dampak sistemik dari paradigma yang terlalu bergantung pada indeksasi, dan menawarkan solusi konkret menuju sistem evaluasi riset yang lebih holistik dan berdampak.
Indeksasi Jurnal: Apa yang Sebenarnya Diukur?
Indeksasi jurnal ilmiah di lembaga seperti Scopus atau Web of Science umumnya didasarkan pada sejumlah kriteria teknis dan administratif. Kriteria tersebut meliputi:
- Adanya sistem peer review yang berjalan secara konsisten
- Transparansi kebijakan editorial
- Kualitas metadata dan sitasi
- Terbitan yang konsisten dalam waktu dan kualitas teknis
Namun, perlu dicatat bahwa indikator tersebut tidak secara langsung menilai substansi riset yang dipublikasikan. Dengan kata lain, jurnal yang terindeks belum tentu setiap artikelnya berkualitas tinggi, relevan, atau memiliki dampak nyata terhadap masyarakat.
Studi Kasus: Jurnal Nature dan Retraksi Penelitian
Pada tahun 2024, jurnal Nature menarik kembali artikel yang sebelumnya sangat populer dan dikutip ribuan kali: “A Specific amyloid-ß protein assembly in the brain impairs memory.” Artikel ini ditarik karena ditemukan manipulasi gambar oleh peneliti utamanya.
Ironisnya, jurnal Nature memiliki faktor dampak (impact factor) yang sangat tinggi dan berada di kuartil 1 (Q1) kategori multidisiplin. Kasus ini menunjukkan bahwa indeksasi atau reputasi jurnal tidak menjamin akurasi atau integritas konten artikel.
Dampak Miskonsepsi: Dari Dosen hingga Institusi
Di Indonesia, kebijakan pendidikan tinggi sering mendorong publikasi di jurnal bereputasi sebagai syarat kenaikan jabatan atau tunjangan profesi. Imbasnya:
- Akademisi lebih memilih topik “global” yang dianggap menarik bagi editor jurnal internasional, ketimbang isu lokal yang relevan secara sosial.
- Riset berorientasi pada “apa yang bisa diterima jurnal Scopus” daripada “apa yang dibutuhkan masyarakat.”
- Munculnya perilaku akademik tidak etis seperti:
- Plagiarisme
- Salami slicing
- Pembelian artikel melalui paper mill
- Manipulasi data
Semua ini muncul karena tekanan untuk publish or perish dalam konteks indeksasi.
Indeksasi Tidak Sama dengan Kualitas Riset
Berikut ini perbedaan mendasar yang sering kali diabaikan:
Aspek | Indeksasi Jurnal | Kualitas Penelitian |
---|---|---|
Fokus Penilaian | Administratif dan teknis jurnal | Substansi dan kontribusi ilmiah |
Siapa yang dinilai? | Manajemen jurnal | Penulis/artikel spesifik |
Indikator utama | Peer review, metadata, keteraturan terbitan | Originalitas, metodologi, transparansi, dampak |
Ketergantungan terhadap kuantitas | Tinggi (jumlah artikel, jumlah kutipan) | Rendah – kualitas lebih diutamakan |
Ketimpangan Global: Negara Berkembang dan Standar Barat
Dalam sistem yang terlalu berorientasi pada indeksasi, negara-negara berkembang seperti Indonesia menghadapi tantangan besar:
- Bahasa: Mayoritas jurnal terindeks internasional menggunakan bahasa Inggris, yang bisa menjadi hambatan bagi peneliti non-native speaker.
- Topik Penelitian: Topik yang bersifat lokal seperti mitigasi bencana di desa atau analisis budaya lokal kurang diminati oleh jurnal internasional.
- Biaya Publikasi: Banyak jurnal internasional mengenakan article processing charge (APC) yang tidak murah.
Menuju Evaluasi Penelitian yang Lebih Holistik
Untuk memperbaiki sistem, Indonesia dapat mengadopsi prinsip-prinsip evaluasi yang lebih inklusif dan kontekstual. Beberapa inisiatif global yang bisa menjadi rujukan:
1. DORA (Declaration on Research Assessment)
DORA menekankan bahwa evaluasi kinerja akademisi tidak boleh hanya didasarkan pada tempat publikasi, tetapi juga isi dari publikasinya.
2. Leiden Manifesto
Menawarkan 10 prinsip dasar evaluasi penelitian berbasis bukti dan dampak.
3. COARA (Coalition for Advancing Research Assessment)
Mengajak institusi untuk lebih menghargai keragaman kontribusi akademik, seperti pengembangan software, data terbuka, atau pengabdian masyarakat.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah dan Kampus?
Reformasi Kebijakan
- Menyusun Indikator Kinerja Utama (IKU) yang mencerminkan kebermanfaatan penelitian terhadap masyarakat lokal, bukan hanya jumlah artikel di jurnal Scopus.
- Mendorong pemanfaatan jurnal nasional terakreditasi sebagai sumber rujukan ilmiah yang sah.
- Memberikan penghargaan pada penelitian kolaboratif berbasis komunitas.
Dukungan Infrastruktur
- Memperkuat Repositori Ilmiah Nasional (RIN) sebagai wadah data mentah penelitian.
- Mengembangkan pelatihan editor jurnal lokal agar mampu bersaing secara internasional.
- Mendorong pemanfaatan preprint dan open peer review untuk meningkatkan transparansi.
Peran Peneliti: Menjaga Etika dan Relevansi
Peneliti perlu melakukan refleksi kritis:
- Apakah penelitian yang dilakukan relevan dan dibutuhkan masyarakat?
- Apakah data dan metode transparan dan bisa direplikasi?
- Apakah saya menulis untuk manusia atau untuk memenuhi angka?
Etika akademik harus menjadi nilai utama, bukan sekadar publikasi demi portofolio.
Indeksasi Sebagai Alat, Bukan Tujuan
Indeksasi jurnal memang penting—ia membantu artikel ilmiah ditemukan, dibaca, dan disitasi. Namun, indeksasi hanyalah satu dari sekian banyak indikator, bukan satu-satunya tolok ukur.
Sudah saatnya dunia akademik, termasuk di Indonesia, meninjau ulang paradigma evaluasi penelitian. Ukuran keberhasilan tidak boleh berhenti pada angka indeksasi, melainkan pada dampak nyata di masyarakat, kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, dan integritas dalam menjalankan proses riset.
Baca Juga: Mengapa Perguruan Tinggi di Indonesia Semakin Tertinggal Jauh?