Kolaborasi Kampus dan TNI dalam Penguatan Bela Negara: Peluang, Tantangan, dan Kontroversi

Dalam upaya memperkuat ketahanan nasional dan membentuk karakter generasi muda yang tangguh, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) menggaungkan kembali kerja sama antara perguruan tinggi dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Langkah ini menuai respons beragam—ada yang menyambutnya sebagai upaya edukatif dalam menanamkan nilai bela negara, namun tak sedikit pula yang menganggap kerja sama ini membuka celah masuknya unsur militerisasi ke dunia kampus.

Artikel ini membahas secara komprehensif latar belakang, manfaat, implementasi, kontroversi, dan proyeksi masa depan dari kerja sama antara kampus dan TNI dalam konteks pembinaan karakter dan bela negara.

Bela Negara sebagai Tanggung Jawab Bersama

Bela negara bukanlah semata-mata urusan militer atau pertahanan bersenjata. Menurut Kemendiktisaintek, bela negara merupakan manifestasi cinta tanah air yang bisa diekspresikan melalui bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kontribusi dalam pembangunan nasional.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendiktisaintek, Khairul Munadi, menekankan bahwa nilai-nilai bela negara harus diintegrasikan ke dalam pendidikan tinggi tanpa mengabaikan prinsip kebebasan akademik dan keberagaman pemikiran.

Manfaat Kerja Sama Kampus–TNI

1. Penguatan Wawasan Kebangsaan

Melalui program pelatihan bersama, mahasiswa dapat memahami sejarah perjuangan bangsa, peran TNI dalam mempertahankan kedaulatan, serta posisi Indonesia dalam geopolitik global.

2. Kedisiplinan dan Kepemimpinan

Salah satu nilai utama yang ditanamkan TNI adalah disiplin. Bagi mahasiswa, pelatihan ini menjadi momentum penguatan etos kerja, kedisiplinan waktu, dan jiwa kepemimpinan.

3. Perspektif Baru tentang Ketahanan Nasional

Selain dari buku, mahasiswa mendapat pengalaman langsung berinteraksi dengan instruktur dari TNI. Hal ini membuka wawasan baru tentang pentingnya stabilitas nasional dan keamanan dalam konteks pembangunan bangsa.

Contoh Implementasi: Universitas Udayana dan Kodam IX/Udayana

Pada Maret 2025, Universitas Udayana resmi menandatangani perjanjian kerja sama dengan Komando Daerah Militer (Kodam) IX/Udayana. Kesepakatan ini merupakan tindak lanjut dari nota kesepahaman antara Menteri Pendidikan dan Panglima TNI pada tahun 2023.

Perjanjian tersebut mencakup:

  • Program penguatan karakter dan bela negara
  • Kuliah umum dari jajaran militer
  • Pelatihan dasar kedisiplinan dan kebugaran fisik

Namun, pengumuman perjanjian ini memicu penolakan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Udayana. Mereka menilai adanya potensi militerisasi pendidikan sipil dan mengkhawatirkan terganggunya kebebasan akademik.

Kontroversi: Kebebasan Akademik vs Pendekatan Militer

BEM Udayana secara tegas menolak masuknya unsur militer ke dalam institusi pendidikan tinggi. Mereka menekankan bahwa kampus harus tetap netral, terbuka, dan bebas dari intervensi lembaga di luar pendidikan.

Poin-poin keberatan yang disuarakan:

  • Potensi pembatasan kebebasan berpendapat
  • Hilangnya ruang diskusi yang kritis
  • Ketakutan akan pendekatan yang cenderung otoritatif

SETARA Institute juga menyoroti bahwa militer aktif tidak seharusnya menjadi pelatih dalam konteks pendidikan sipil karena bertentangan dengan UU TNI yang membatasi operasi militer selain perang.

Baca Juga: Mengapa Perguruan Tinggi di Indonesia Semakin Tertinggal Jauh?

Perspektif Kemendiktisaintek: Sinergi tanpa Mengorbankan Otonomi Kampus

Kemendiktisaintek menegaskan bahwa kerja sama seperti ini tetap menjunjung tinggi otonomi universitas dan prinsip demokrasi kampus. Selama tidak ada paksaan atau dominasi, kolaborasi bisa menjadi sarana edukasi yang efektif.

Khairul Munadi menambahkan bahwa:

“Materi pelatihan harus berbasis nilai akademik, inklusif, dan tidak boleh membungkam keberagaman gagasan yang hidup di kampus.”

Studi Banding: Praktik Serupa di Negara Lain

Beberapa negara menerapkan program serupa:

  • Singapura: National Service menjadi kewajiban warga negara, termasuk pendidikan bela negara berbasis kampus.
  • Korea Selatan: Mahasiswa dilibatkan dalam pelatihan militer dasar.
  • Finlandia: Mengintegrasikan pertahanan sipil ke dalam pendidikan tinggi secara sukarela.

Namun, semua itu dilakukan dengan prinsip transparansi dan sukarela, bukan sebagai upaya dominasi militer terhadap dunia akademik.

Rekomendasi Penguatan Program Tanpa Mengancam Kebebasan

  1. Voluntarisme: Pelatihan bela negara harus bersifat sukarela, bukan wajib.
  2. Kurikulum berbasis nilai akademik: Materi pelatihan harus dirancang bersama pihak kampus agar tetap relevan dengan dunia pendidikan tinggi.
  3. Evaluasi berkala: Dampak kerja sama harus diukur secara kualitatif dan kuantitatif.
  4. Transparansi publik: Mahasiswa dan civitas akademika harus tahu isi dan batasan kerja sama secara jelas.

Penutup

Kerja sama antara Kemendiktisaintek, perguruan tinggi, dan TNI memiliki potensi positif untuk membentuk karakter dan meningkatkan semangat bela negara di kalangan mahasiswa. Namun, pelaksanaannya harus tetap dalam koridor demokrasi, kebebasan akademik, dan otonomi kampus.

Keseimbangan antara semangat nasionalisme dan kebebasan berpikir harus dijaga agar kerja sama ini menjadi kekuatan, bukan ancaman.

Baca Juga: Potret Pendidikan Indonesia: Disparitas, Minimnya Lulusan Perguruan Tinggi, dan Rendahnya Kemampuan Dasar Literasi

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top